KOMUNIKASI POLITIK PADA ERA DIGITAL
Pendahuluan
Media digital membuka ruang komunikasi dan partisipasi politik dengan meningkatkan kemungkinan interaksi antara elemen penting didalamnya yakni partai dan institusi negara yang disebut sebagai elitedan warga negara atau non-elite.Hal tersebut dilandasi oleh karakter baru Internet yang tidak dimiliki media massa tradisional yakni interaktif, aktif dan kreatif, langsung, menjamin kesetaraan dan berjaringan.
komunikasi politik merupakan bagian penting dari proses demokrasi. Dalam konteks diskusi tentang interanet dan demokrasi, Dahlberg & Siepera membawa ide besar tentang demokrasi radikal (radical democracy) yakni demokrasi yang berfokus pada upaya mengkonseptualisasikan proses demokrasi dalam perspektif demokrasi klasik yakni persamaan (equality) dan kebebasan (liberty) yang dimungkinkan bisa difasilitasi Internet. Disini komunikasi politik sebagai salah satu hal krusial dalam proses demokrasi juga mengalami transformasi.Internet sebagai media baru memunculkan konsekuesi praktik diskusi politik yang tidak hanya berlangsung di ruang nyata (real) namun juga komunikasi yang dimediasi ruang maya. Misalnya aktivitas politik yang kini dimediasi internet atau yang disebut politik siber (cyber politic) diantaranya evoting, epetition, email, epolls. Dengan internet, demonstrasi dengan mengerahkan massa di jalanan diganti dengan epetition, pemungutan suara langsung dilakukan dengan epolls. Komunikasi politik yang semula berupa pidato atau orasi calon pemimpin pemimpin, kini tidak hanya dilakukan di lapangan terbuka, namun dimediasi Internet melalui media sosial seperti Facebook, Twitter dan YouTube dalam bentuk kampanye di dunia maya (cyber-campaign).
Dalam konteks Indonesia Internet juga telah banyak berkontribusi dalam proses komunikasi politik online sejak Internet masuk tahun 1990-an. Di awal keberadaannya, secara ekonomi dan politik Internet menjadi medium alternatif yang lepas dari kontrol rezim Soeharto. Namun demikian, internet memang bukan penentu tumbangnya Orde Baru karena saat itu akses Internet hanya menjangkau satu persen masyarakat Indonesia. Meski demikian, Internet berperan krusial dalam memberikan alternatif informasi yang saat itu ‘belum bisa’ disediakan media tradisional (televisi, radio, surat kabar, majalah) – yang notabene berada di bawah kontrol rezim Soeharto. Saat ini peran Internet semakin krusial dalam dunia politik di Indonesia, baik secara positif maupun negatif. Dalam konteks diskusi komunikasi politik di Indonesia kedepan dipastikan akan selalu bersinggungan dengan teori komunikasi politik online. Hal ini dilandasi beberapa argumen; pertama, Internet di Indonesia terus berkembang baik dari sisi jumlah pengguna maupun teknologinya. Mulai dengan menjangkau satu persen dari total penduduk di tahun 1998 kini penetrasi Internet di Indonesia sudah diatas 50 persen dari total penduduk Indonesia. Tingginya tingkat pengguna Internet di Indonesia telah memberikan dampak terhadap maraknya aktifitas yang lebih dikenal sebagai politik siber (cyber politic) yakni penggunaan media online sebagai sarana berkomunikasi politik. Pemilihan umum 2014 merupakan salah satu contoh nyata penggunaan Internet terutama sosial media dalam proses komunikasi politik.
Kedua, terkait dengan publik sebagai elemen komunikasi politik penting, memposisikan internet sebagai harapan baru masyarakat Indonesia ditengah menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap media/ pers tradisional yang kini lebih dikontrol kekuasaan pasar dan politik. Sebagaimana diketahui, Era Reformasiberhasil mengesahkanUU No 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers yang membuka ruang luas pada masyarakat Indonesia untuk mendirikan media massa. Pasca Reformasi, media massa di Indonesia mengalami apa yang disebut euforia karena selama puluhan tahun media dibungkam Soeharto. Namun demikian, sekitar 10 tahun pasca Era Reformasi ini, media massa menemukan tantangan baru. Kontrol atas media massa/ pers tetap terjadi hanya berbeda aktor pengontrolnya saja. Jika di Era Orde Baru kontrol dilakukan negara di Era Reformasi media dikontrol oleh kepentingan ekonomi dan politik. Dengan sistem media massa yang demikian, alih-alih memberikan ruang yang memadahi bagi warga sipil untuk berekspresi, media massa/ pers justru memberikan ruang pada kekuasaan politik untuk para elite.
Dari sinilah, peran Internet terutama dalam menyediakan ruang alternatif berdemokrasi menjadi krusial untuk dilihat lebih lanjut.
Pembahasan
1. Bagaimana komunikasi politik klasik berbeda dengan komunikasi politik online.
2. Bagaimana perbedaan pola komunikasi politik yang menggunakan dua medium yang berbeda tersebut memberikan ruang baru dalam penelitian komunikasi politik di era Internet.
Menurut Lasswell, dalam disertasinya yang mempelajari tentang propaganda. Ia mendefinisikan komunikasi politik dengan pertanyaan mendasar tentang who- says what- to whom - via which channels - with what effects sebagaimana terlihat pada gambar 1 dibawah ini.
Menurut pandangan Denton dan Woodward. Mereka mendefinisikan komunikasi politik secara singkat sebagai komunikasi yang memiliki tujuan politis, meliputi; 1) semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh politisi dan aktor politik lain untuk tujuan khusus; 2) komunikasi yang ditujukan kepada para aktor politik oleh aktor-aktor non politis seperti pemilih (voters) dan kolumnis; dan 3) komunikasi terkait dengan aktor-aktor politik dan aktifitasnya yang diliput media, dibahas dieditorial dan diperbincangkan dalam berbagai format diskusi di media. Model komunkasi politik sebagaimana disampaikan Denton dan Woodward merupakan merupakan komunikasi politik termediasi oleh media tradisional seperti televisi, radio, surat kabar atau majalah. Komunikasi politik ini memiliki pola komunikasi politik berlangsung searah (one way communication), tersentralisasi dan memposisikan publik sebagai penerima pesan pasif. adapun gambar 2 dibawah yang dapat menjelaskan teori ini.
Gambar diatas menggambarkan bagaimana elemen-elemen dalam proses komunikasi politik berinteraksi satu sama lain. Elite yang terdiri dari organisasi politik seperti partai, organisasi publik, pemerintah menggunakan media sebagai alat untuk menyampaikan program-program politiknya untuk disampaikan kepada pemilih (voters) yakni warga negara (citizen). Pesan tersebut biasanya dikemas oleh media tradisional dalam bentuk liputan, editorial, komentar dan analisis berita untuk disampaikan kepada publik. Disisi lain media juga memfasilitasi warga (citizen) untuk menyampaikan opini mereka untuk kepada elite.
Dalam praktiknya komunikasi politik yang dimediasi media tradisional ini memungkinkan terjadinya hambatan (barrier) berupa praktik kekuasaan yang dilakukan elemen komunikasi politik. Elemen-elemen komunikasi politik yakni media, elite dan publik tidak berada dalam ruang vakum. Masing-masing elemen memiliki fungsi kontrol yang akan mempengaruhi efek pesan yang dibangun dalam komunikasi politik. Mereka yang mengontrol adalah kelompok yang paling banyak menguasai sumber daya terutama medium (channel). Sebagai contoh dalam konteks Indonesia, media dalam proses komunikasi politik seringkali diharapkan menjadi ruang publik yang memberikan ruang bebas kepada publik untuk menyampaikan opininya. Namun pada kenyataannya harapan tersebut tidak terpenuhi karena penguasaan elite atas media massa di Indonesia. Pada akhirnya terjadi pelemahan peran media sebagai ruang partisipasi publik karena media lebih dipakai sebagai alat elite untuk mencapai kekuasaannya. Media tidak lagi memediasi publik untuk menyampaikan opininya kepada elite, sebaliknya media menjadi ruang yang dikuasai elite untuk mengontrol publik.
Terkait dengan problematika proses komunikasi politik termediasi media tradisional ini menjadi penting untuk melihat alterneatif channel yang dapat memfasilitasi proses komunikasi politik dengan kualitas yang lebih baik yakni Internet. Dalam proses komunikasi, komunikasi politik online masuk dalam pembahasan Computer Mediated Communication (CMC). Internet menawarkan berkarakter dan pola baru dalam berkomunikasi yakni langsung, terdesentralisasi, dua arah, interaktif dan berjaringan (networking). Dengan penggunaan internet ini, maka gambar 2 dapat dimodifikasi menjadi gambar 3 dibawah ini.
Internet membuka kanal komunikasi langsung antara publik (citizen) dengan elite yang semula harus dimediasi oleh institusi pers. Internet yang dalam artikel ini difokuskan pada media sosial berkarakter interaktif karena telah berbasis Web 2.0 Karakter tersebut berbeda dengan media tradisional (print, elektronik, online) sebagaimana dikemukakan oleh Holmes (2005) yang mengurai perbedaan karakter internet dengan televisi yang dalam hal ini dapat mewakili media tradisional. Pertama, internet memiliki karakter terdesentralisasi (decentralized) sementara televisi tersentralisasi (centered). Karakter ini merubah proses komunikasi politik yang sebelumnya dari satu orang ke banyak orang (one to many) kini menjadi dari banyak orang ke banyak orang (many to many). Karakter ini mengurangi kekuasaan elite yang semula menjadi komunikan aktif, dan mengemansipasi publik yang kini menjadi publik aktif. Publik yang bisa menggalang kekuatan bersama menggunakan Internet untuk memperjuangkan kepentingannya. Warga (citizen) bisa membentuk jaringan sosial yang memungkinkan mereka berkoodinasi, membuka ruang debat politik, membangun ruang publik yang interaktif, memobilisasi hingga mengkoordinasi aksi kolektif. Kedua, internet membuka komunikasi dua arah (two way of communication) sementara televisi hanya satu arah (one way komunikasi). Media sosial misalnya, merupakan ruang yang memungkinkan para aktor demokrasi dapat berkomunikasi langsung dua arah yang sebelumnya tidak dilakukan di televisi. Bahkan saat ini publik bisa berbicara langsung dengan presiden melalui akun media sosial. Ketiga, internet memiliki kemampuan menghindari kontrol kekuatan tertentu, sementara televisi mudah dikontrol. Casstell (2009) menyebut bahwa masyarakat yang ada di internet masyarakat jaringan (network society) yang membangun jaringan antar tak terbatas yang tidak dapat disensor dengan mudah. Jaringan itu bisa berupa jaringan informasi, jaringan warga sipil, jaringan perusahaan, dll. Sementara televisi merupakan media elektronik yang masih mudah dikontrol oleh segelintir orang saja, misalnya dalam kasus Indonesia yakni konglomerat yang memiliki media.
Penutup
Diskusi teoritis tentang komunikasi politik klasik dan komunikasi politik online memperlihatkan bahwa komunikasi politik di era Internet akan mengalami dinamika perubahan yang menarik untuk terus dikaji peneliti komunikasi politik saat ini dan dimasa depan. Ada beberapa hal yang dianggap penting untuk menjadi penekanan dalam setiap diskusi diantaranya; pertama, karakter media baru dalam hal ini internet yang menentukan perubahan pola komunikasi politik diantaranya langsung (direct), murah (low cost), kecepatan (speed), interaktif, desentralisasi yang mendekonstruksi komunikasi politik yang semula satu arah menjadi dua arah, top down menjadi bottom up dan elitis menjadi non-elitis; kedua, karakter baru internet tersebut membawa perubahan positif terhadap proses komunikasi politik dan menjadi alternatif media bagi publik dalam menyampaikan opini publiknya secara lebih terbuka dan bebas. Namun pada kenyataannya berbagai penelitian telah membuktikan bahwa komunikasi politik online juga menghadirkan problematika yang menjadi hambatan (barrier) baru yang tidak ditemukan dalam proses komunikasi politik klasik; ketiga, dengan adanya potensi sekaligus problematika komunikasi politik online menghasilkan berbagai pandangan optiomis dan pessimis terhadap Internet yang siap untuk dijadikan sebagai ruang laboratorium para peneliti komunikasi politik, terutama untuk menyumbangkan pemikiran teoritis baru dan solusi atas berbagai problematika komunikasi politik di era Internet.
Untuk informasi lebih lanjut dapat mengunjungi link di bawah ini :
Komentar
Posting Komentar